JURNAL 20 - Linking sustainability and the Fourth Industrial Revolution: a monitoring framework accounting for technological development — Energy, Sustainability and Society, 2023. SpringerLink+1
5 POIN - POIN PENTING TENTANG JURNAL DI ATAS
1. Kebutuhan indikator baru untuk menangkap dampak Revolusi Industri ke-4 (4IR)
Makalah ini menyoroti bahwa banyak strategi pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional maupun internasional—misalnya German Sustainable Development Strategy (GSDS)—masih menggunakan indikator “lama” yang menekankan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara klasik. Namun, perkembangan pesat dalam Revolusi Industri ke-4 (4IR) membawa dimensi baru yang belum sepenuhnya masuk dalam sistem indikator tersebut, seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, blockchain, atau infrastruktur digital. Tanpa indikator yang jelas untuk mengukur perkembangan teknologi ini, strategi keberlanjutan berisiko “buta” terhadap konsekuensi jangka panjangnya. Dengan kata lain, kita mungkin berhasil memantau emisi CO₂, konsumsi energi, atau akses pendidikan, tetapi gagal melihat bagaimana digitalisasi justru menciptakan kesenjangan digital, penggunaan energi data center yang besar, atau dampak sosial-ekonomi baru.
2. Dilema Collingridge: kesulitan mengendalikan teknologi karena efeknya muncul setelah teknologi tersebar
Salah satu kerangka teoretis yang digunakan adalah Collingridge dilemma. Dilema ini menjelaskan bahwa ketika teknologi baru masih dalam tahap awal, kita masih punya peluang untuk mengendalikannya atau mengarahkan arahnya. Namun, pada tahap ini dampaknya belum jelas, sehingga sulit diprediksi. Sebaliknya, ketika teknologi sudah matang dan dampaknya baru terlihat, ruang untuk mengubah arah atau mengendalikan penggunaannya justru semakin kecil.
Makalah ini menekankan bahwa hal tersebut sangat relevan untuk 4IR. Misalnya, penggunaan AI di sektor energi bisa meningkatkan efisiensi, tetapi juga berpotensi menimbulkan risiko keamanan, bias, atau kehilangan pekerjaan. Jika kita hanya menunggu dampak negatifnya muncul, akan jauh lebih sulit (dan mahal) untuk mengatasinya. Karena itu, pemantauan “ex ante” (sebelum dampak penuh terjadi) sangat penting untuk memberikan early warning signals.
3. Pengembangan kerangka monitoring baru: Sustainable Digital Socio-Economic-Ecological Indicator System (SDSEEIS)
Untuk mengatasi keterbatasan sistem indikator tradisional, penulis mengusulkan sebuah kerangka baru yang disebut Sustainable Digital Socio-Economic-Ecological Indicator System (SDSEEIS). Kerangka ini dirancang agar dapat mengintegrasikan dimensi keberlanjutan klasik dengan dimensi digital yang khas dari 4IR.
SDSEEIS terdiri atas:
-
Indeks keseluruhan: mengukur kinerja pembangunan berkelanjutan berdasarkan semua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
-
Empat sub-indeks: masing-masing merepresentasikan aspek sosial, ekonomi, ekologis (dengan fokus pada food-energy-water nexus), dan digital.
Yang membuat kerangka ini menarik adalah dimensi digital yang diberi posisi sama penting dengan aspek sosial-ekonomi-ekologi. Ini menandakan bahwa keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan dan masyarakat, tetapi juga bagaimana teknologi digital berkembang dan digunakan.
4. Temuan empiris untuk Jerman: belum pada jalur yang benar di beberapa sektor
Ketika kerangka SDSEEIS diterapkan pada konteks Jerman, ditemukan hasil yang cukup kompleks:
-
Indeks SDG keseluruhan: Jerman berada di kisaran 75% pencapaian terhadap target pembangunan berkelanjutan. Ini menunjukkan posisi cukup baik, tetapi masih jauh dari 100%.
-
Perbedaan antar sub-indeks: sektor sosial dan ekonomi menunjukkan capaian relatif tinggi, artinya kebijakan sosial dan stabilitas ekonomi cukup kuat menopang keberlanjutan. Namun, ada dua dimensi yang lemah: digitalisasi dan food-energy-water nexus. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun Jerman maju secara ekonomi, transformasi digitalnya belum cukup mendukung tujuan keberlanjutan, dan sektor ekologis masih menghadapi banyak tantangan.
-
Integrasi indikator digital: saat dimensi digital dimasukkan, skor keseluruhan sedikit menurun. Artinya, jika keberlanjutan dilihat secara menyeluruh termasuk aspek teknologi digital, performa Jerman belum optimal.
Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa negara maju sekalipun masih menghadapi kesenjangan antara kemajuan teknologi dengan pencapaian keberlanjutan.
5. Implikasi kebijakan & pentingnya pengawasan awal (early warning) dalam transformasi teknologi
Makalah ini juga menekankan implikasi kebijakan dari kerangka baru ini. Pembangunan berkelanjutan tidak bisa lagi hanya dipandang dari tiga pilar tradisional (ekonomi, sosial, lingkungan), tetapi harus ditambah dengan dimensi teknologi digital.
Beberapa implikasi penting:
-
Pemantauan digitalisasi sebagai komponen utama: negara perlu membuat indikator yang bisa mengukur dampak teknologi digital pada ketimpangan sosial, penggunaan energi, maupun kualitas pekerjaan.
-
Fungsi early warning: kerangka monitoring seperti SDSEEIS bisa memberi peringatan dini jika arah digitalisasi membawa konsekuensi negatif, misalnya meningkatnya emisi akibat infrastruktur data center atau ketimpangan digital antarwilayah.
-
Penyesuaian strategi pembangunan: target-target keberlanjutan harus selalu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan teknologi. Tanpa pembaruan ini, strategi pembangunan bisa menjadi usang atau tidak relevan dengan tantangan nyata yang muncul dari 4IR.
Dengan kata lain, teknologi harus dilihat sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sebagai alat pendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar